Jumat, 01 Agustus 2008

Pasal 72 Ayat 3 UU HaKI

| | Comments (8) | TrackBacks (0)

Sebenarnya “rasa penasaran” berikut ini mengangkat lagi kisah razia perangkat lunak bajakan yang sudah berlangsung pada bulan Maret 2006. Bermula dari pendapat Felix Febrian di mailing list Asosiasi Warnet mengomentari Iklan Kapolri “Stop Pembajakan Haki” di TV,

Pasal 72 ayat 3 UU Hak Cipta berbunyi, Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500 juta.

Software di kantor polisi digunakan untuk pelayanan publik dan tidak untuk komersial. Saya kira polisi tidak bisa dijerat dengan UU HaKI di atas.

Don't Let Pirated Software Kill -- Use Free Software

Saya memang belum menelusuri pasal-pasal UU HaKI secara lengkap dan rinci, namun sedikit heran dengan tambahan klausul pembedaan antara kepentingan komersial dan bukan. Berdasarkan kelaziman yang hampir selalu saya jumpai pada produk-produk kekayaan intelektual (perangkat lunak, tulisan, lagu, dan film), izin pembeda pemakaian komersial dan non-komersial melekat pada lisensi yang dipilih oleh produk yang bersangkutan. Contoh yang paling gamblang adalah lisensi Creative Commons, yang menyediakan rentang cukup luas untuk keragaman lisensi. Termasuk antisipasi mereka terhadap bangsa-bangsa sedang berkembang yang masih terlilit dalih daya beli rendah.

Keterangan yang tertulis di Tanya-Jawab Hak Cipta,

26. Perbuatan apa yang tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta?

Perbanyakan suatu ciptaan selain program komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apapun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan dan pusat dokumentasi yang bersifat non komersial semata-mata untuk keperluan aktifitasnya [sic];

dan, pasal 72 diulang lagi,

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);

Dengan pengecualian dikaitkan pemakaian komersial atau bukan seperti yang secara global disebut di UU HaKI, apakah hal tersebut tidak akan berbenturan dengan EULA yang lazim dipakai oleh perangkat lunak komersial impor? Saya baca contoh EULA di Windows XP EULA in Plain English, tidak saya temukan pengecualian untuk pemakaian non-komersial. Lembaga pendidikan yang menjalin kerja sama dengan Microsoft pun menyediakan mekanisme lisensi dengan cara yang berbeda, namun bukan berupa pengecualian. Apakah kedua belah pihak — perangkat hukum vendor perangkat lunak dan praktisi hukum negeri ini — belum menyadari konsekuensi tersebut atau membiarkannya?

Kebetulan kasus yang sudah bergulir di lapangan baru berupa pernyataan salah seorang aparat di Makassar, yang tancap gas menyebut lugas, Jadi untuk kepentingan komersial dilarang! Tapi untuk kepentingan pelatihan, dan di instansi-instansi itu diperbolehkan. Pelatihan apa dan di instansi mana?

Dapat saja — dan sangat mungkin — UU HaKI belum sempurna mengakomodasi persoalan kekayaan intelektual atau “kebingungan” kita antara mengikuti hukum pasar dan romantika “memberdayakan rakyat”. Dengan resiko: jika tak kunjung jelas, akan muncul kesan aturan tersebut diskriminatif atau dapat disalahgunakan dan menjadi cibiran mereka yang merasa tersudut dengan penerapan UU HaKI.